Kantin Harapan Warga Kampus

15 01 2009

Semenjak menempati gedung baru, belum tersedianya kantin di Stikom ditanggapi serius oleh penghuni kampus. Oktrivia (21) misalnya, mahasiswa broadcasting ini menginginkan kampus untuk memiliki kantin. “Selain tempat makan, kantin itu berfungsi sebagai tempat tongkrongan, waktu kampus masih di Lodaya kan tongkrongannya enak, nyaman, dan murah.”

Dosen Stikom, Pa Ade di temui di kantornya Selasa (16/12) memberi tanggapan. Menurutnya selama menempati kampus baru di jalan PH. Mustafa ketiadaan kantin di dalam kampus belum menjadi masalah besar. “Saat ini kampus sebaiknya memprioritaskan sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa saja.” Para pedagang di jalan Bekamin justru menurutnya lebih menguntungkan ketimbang di Lodaya. “Soal urusan perut kan masih bisa di luar.” Dosen sekaligus penjabat program diploma ini mengomentari jajanan di Bekamin yang lebih murah.

Ditemui di tempat terpisah, Rismanto S.pd selaku penjabat akademik bidang sarana dan prasarana kampus mengungkapkan keinginan kampus untuk memiliki kantin harus mengikuti prosedural. “Kita memiliki kontrak MOU dengan pihak PT. Pos Indonesia.” Perlu dipahami bahwa dalam kontrak bersama PT. POS untuk penambahan bangunan di kawasan kampus harus melalui negosiasi. Berkaitan dengan kantin, yayasan masih memikirkan penambahan bangunan ini. “Jadi, tidak semudah yang kita bayangkan,” tegasnya.

Rismanto yang juga moderator dalam debat mahasiswa RRI mengungkapkan harapannya untuk membangun kantin masih terus dipertimbangkan. “Mahasiswa harus bersabar karena kondisi ini pernah dirasakan bersama.” Beliau menambahkan, “jika suatu saat kesabaran ini akan membuahkan hasil demi kepentingan bersama.”

Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon.





Mahal di Bekamin Itu Relatif

15 01 2009

Bekamin kini menjadi jalan yang hampir tak pernah sepi dikarenakan beranekaragam aktivitas. Penjual makanan disini cukup lengkap selain karena harganya yang terjangkau. Bagi Isma (21) yang menjalani hidup sebagai anak kos justru bertolak belakang dengan harga jajanan di Bekamin.

Perempuan asal Cicalengka ini mengaku kehilangan karena ketiadaan kantin semenjak kepindahan kampus Stikom di jalan Lodaya. “Di Lodaya kan kita punya kantin yang harga jajanannya murah. Apalagi tempatnya strategis!”, ungkapnya.

Pantauan GERBANG Senin (15/12) terhadap penjual pecel misalnya, dengan harga Rp. 5000-8.000 saja sudah bisa mendapatkan satu porsi. Nasi padang berkisar Rp. 5.500-9.000 sudah bisa dinikmati. Untuk pilihan minuman, pedagang jus buah bisa jadi alternatif dengan harga berkisar Rp. 2.000-4.000.

Selain itu mahasiswa Stikom yang sekadar “cuci mata” sambil mencari perhatian mahasiswa dari kampus tetangga tidak harus bayar atau dipungut biaya. Hal ini wajar karena dibelakang kampus terdapat kos-kosan mahasiswa.

Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon.





Kampus Tanpa Kantin, Bagaimana Rasanya?

15 01 2009

Dibawah teriknya matahari puluhan mahasiswa Stikom mengerumuni jalan Bekamin Senin (15/12). Aktivitas mereka beragam, mulai dari membeli makanan, merokok, duduk berdua, bertiga bahkan berkelompok. Menengok ke dalam, kampus Stikom tidak memiliki fasilitas kantin layaknya kampus pada umumnya.

Yoga, mahasiswa Broadcast, beranggapan jalanan Bekamin setidaknya “mengobati” ketiadaan kantin di dalam kampus. “Para pedagang yang berjejer disini menjual makanan yang terjangkau untuk ukuran mahasiswa,” ujarnya ditemui di salah satu penjual minuman jalan Bekamin.

Lain halnya Clara, mahasiswi jurusan Public Relations 2007. “Kalo lagi panas gini kan males juga, apalagi sebagian penjual disini punya tempat terbatas menjamu mahasiswa mengingat pembeli lain juga punya hak yang sama. Kalau bisa secepatnya Stikom punya kantin,” tegas Clara yang sedang mengantri.

Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon.





Pelatihan Menulis Untuk Guru

12 04 2008

Bandung: Sekitar 60 guru SMA dan SMK se-kota/Kabupaten Bandung mengikuti pelatihan menulis artikel Kamis  (3/4) di Kampus Stikom Bandung.

Pelatihan yang diadakan oleh Stikom Bandung menghadirkan dua orang pembicara,  Santi Indra Astuti dan Haris Sumadiriya. Kedua pembicara menyampaikan materi penulisan artikel dan public Speaking. Kegiatan ini merupakan bentuk pengabdian masyarakat dari STIKOM Bandung, bagi kalangan pendidik.

Mengingat respon positif dari peserta kegiatan serupa akan dilaksanakan di waktu mendatang.  





Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 7

20 02 2008

Oleh Herdi Pamungkas
Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.

***

“Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang kerumunan orang.

“Kayaknya mereka lebih menyukai hura-hura dan gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan orang yang berkerumun menju pasar seni.

“Kita pun tidak perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus mengadakan pendekatan budaya.” Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk.

“Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya.

“Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…”

“Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.

“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga.

“Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”

“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga.

“Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.”

“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu  karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”

“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang.

“Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik,
hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga.

Bersambung…………..





Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 6

18 02 2008

Oleh Herdi Pamungkas

“Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid, menghampiri wali “Selamat datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,”

“Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.

Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin.

‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga.

‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’

‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’

“Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”

“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga.

“Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati.

“Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin.

‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga.

Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ‘saciduh metu saucaping nyata’…”

“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang.

“Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun  yang diucapkan “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun
disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan DemakBintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.

“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri.      

“Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.

“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi.

‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’

‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban.

“Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”

“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui.

“Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya.

“Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.

“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga.

‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga.

‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri.

“Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga.

“Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga.

“Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud  pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri.

Bersambung………..





Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 5

10 02 2008
Oleh Herdi Pamungkas
“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak.

“Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon.

“Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam.

“Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.”

“Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin.

Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid.

Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”

“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak.

“Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini.

“Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya.

“Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam.

“Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain  tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat
hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika  saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya
musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya.

“Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi.

“Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala.

“Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang si Tambun, seakan tidak peduli.

***

“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak.

Bersambung……





Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 4

9 02 2008

Oleh Herdi Pamungkas

“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar.

“Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak.

“Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.” Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak.

“Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat.

“Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syehk Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.

“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya.

“Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang.

“O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya.

“Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak.

“Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.” Syekh Siti Jenar menatap yang menghunus pedang.

“Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar.

“Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….” Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher.

“Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng.

 “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming.

“Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.

Bersambung……





Hanya Sebagian Kecil PTS yang Sehat

1 02 2008

pak-hadi.jpgBANDUNG, (PR).-
Dari sekitar 400 perguruan tinggi swasta (PTS) yang berada di lingkungan Kopertis IV Jawa Barat dan Banten, hanya sebagian kecil yang dinyatakan sehat.

Demikian dikemukakan Hadi Purnama selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung dalam wisuda Stikom, Rabu (30/1), di Hotel Papandayan, Jln. Gatot Subroto, Bandung.

“Dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang masuk ke PTS. Hanya PTS besar yang mampu mempertahankan eksistensinya,” ujar Hadi.

Hal ini menyebabkan sebagian PTS menutup program studi yang dianggap kurang peminatnya. Menurut Hadi, pelaksanaan wisuda ini merupakan bukti penegasan atas eksistensi Stikom .

Era informasi dan komunikasi ini dijadikan alasan Stikom Bandung tetap memilih di jalur pendidikan ilmu komunikasi. Untuk tetap di jalur ini, Stikom perlu melakukan berbagai pembenahan institusional secara terarah dan berkesinambungan. Diawali dengan pembenahan internal manajemen, baik pembenahan sumber daya manusia, kurikulum, sarana dan prasarana belajar, hingga pengembangan jaringan kerja sama dengan lebih dari 50 institusi.

Dari upaya tersebut, tahun 2007, Stikom mencanangkan program kerja untuk mendapatkan status terakreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN PT). Rencana kerja tersebut telah membuahkan hasil, Stikom Bandung mendapatkan status terakreditasi untuk program sarjana.

Sementara itu, Maya Widianingsih, wisudawati Stikom diharapkan bisa semakin maju dengan memiliki web yang bisa update setiap hari. Di samping itu, Stikom diharapkan memiliki media yang mampu menyalurkan bakat mahasiswa serta perpustakaan yang lengkap.

Dalam sambutannya, Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten Rohim Suratman berkata, “Stikom Bandung perlu melakukan perubahan kurikulum agar bisa disesuaikan dengan pasar kerja.”

Namun, hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena hampir 70% mahasiswa Stikom Bandung yang sudah bekerja, baik di media cetak maupun elektronik, operator telekomunikasi, serta pengusaha. “Ini membuktikan Stikom berorientasi pada praktisi,” ungkap Hadi.

Dalam wisuda III ini, 23% lulusan Stikom, lulus dengan predikat sangat memuaskan (cum laude). Indeks prestasi tertinggi diraih Nita Prasetyowati dengan nilai 3,84. Stikom meluluskan 65 orang yang terdiri dari 41 orang lulusan dari program sarjana dan 24 lulusan dari program D-3. (CA-182)***(Sumber:Pikiran-Rakyat)





Soeharto Sang Perkasa

31 01 2008

Oleh Herdi Pamungkassoeharto.jpg

Kepemimpinan Soeharto sangat ditakuti dan disegani baik oleh bangsanya sendiri mau pun bangsa lain. Kharisma Soeharto betul-betul terpancar, terbukti dengan kekuasaannya yang paling lama 32 tahun dibanding presiden sebelumnya 22 tahun.

Ketika Jendral besar ini menghembuskan nafas yang terakhir setelah dirawat 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), para pelayat berdatangan turut berbela sungkawa, baik para pejabat, mantan pejabat semasanya, sebagian rakyat, dan para petinggi serta mantan pejabat negara tetangga.

Mereka yang berdatangan melayat, serta mengantar ke peristirahatannya yang terakhir tidak lain bukti dari kharisma kepepimpinan Soeharto semasa hidupnya. Terlepas dari persoalan kontroversi yang terjadi.

Lantas kenapa ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghimbau kepada masyarakat agar mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari, tidak serempak dipatuhi oleh rakyat Indonesia? Itu bukan kesalahan Soeharto. Namun itu hanya jaringan birokrasi saja secara hirarki SBY tidak sampai ke tingkat bawah, buktinya mereka tidak mengibarkan bendera karena ketidaktahuan dan tidak adanya arahan dari RT/RW. SBY hanya mengumumkan melalui media, sedangkan pemerhati berita belum merata di negara Indonesia. Media berbeda dengan surat edaran yang meluncur melalui birokrasi tadi.

Terlepas dari hal tersebut tadi, Soeharto meskipun telah tiada namun jasa-jasanya tetap dikenang rakyat kebanyakan. Mereka tidak melihat wacana yang dibahas para elit atau kalangan tertentu tentang baik buruknya Soeharto, tetapi rakyat merasakan pada saat kepemimpinannya. Waktu Soeharto memimpin keadaan negara aman, sandang, pangan, dan papan terpenuhi. Tidak banyak pula perusahaan yang mem-PHK karyawannya, dolar dibawah Rp 2.500,-.

Mereka yang berani pada saat Soeharto masih perkasa hanya orang-orang tertentu saja, diantaranya; Iwan Fals, seniman, Sribintang Pamungkas, AM.Fatwa, Amin Rais dan yang lainnya. Para pemberani tersebut tidak segan-segan mengkritisi kebijakan dan pemerintahan Soeharto dengan cara dan gayanya masing-masing, meski tahu resikonya.

Setelah Soeharto yang perkasa jatuh, lalu menderita sakit, dalam keadaan koma, kritis. Para vokalis bermunculan menyanyikan lagu antagonis. Kenapa di negeri ini terlalu banyak pahlawan yang kesiangan?

Ketika Soeharto didesak untuk meletakan jabatan, maka dia mengikuti keinginan rakyat waktu itu. Sebab dia menghindari bentroknya rakyat dengan TNI, jika tetap kekuasaan dipertahankan.

Amin Rais, ketika mengetahui Soeharto kritis maka mengajak anak bangsa untuk memaafkan beliau. Amin Rais mencontoh Nabi Muhammad yang selalu memaafkan mereka yang telah mendzoliminya. Orang yang sedang menghadapi masa-masa kritis tidaklah selayaknya untuk didemo atau dicaci maki. Meminta maaf lebih mudah dari memberi maaf, terkait berbagai alasan dan pemikiran. Namun Amin Rais, sebagai orang yang paham betul akan ajaran Islam dan tokoh reformasi, tentu akan memilih memaafkan mencontoh Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh ketika Futuh Makah, seluruh kafir Quraesy kalah perang dan seharusnya mereka mendapat hukuman dari Rassul, namun apa yang meluncur dari mulut yang Agung Junjungan kita? Tiada lain Beliau memaafkan, mereka yang berada dalam ketakutan dan bayang-bayang hukum qishas.

Apa pun yang telah terjadi, meski Soeharto yang perkasa tinggal pusara. Keperkasaannya tetap akan dikenang banyak orang, baik oleh lawan, kawan, dan lain sebagainya. Serta cara mempertahankan kekuasaanya, dan menumpas lawan politiknya bersandar pada Undang-undang Subversif, agar tidak melanggar hukum. Itu semua sudah menjadi suratan alam. Kita sebagai manusia tinggal mengambil hikmahnya, dari ketentuan Yang Maha Perkasa.

Sebuah ayat dalam al Quran berbunyi; “Dialah yang memiliki kerajaan, akan Dia berikan pada orang yang dikehendaki-Nya, akan Dia mulyakan orang yang dikehendaki-Nya, dan akan Dia hinakan orang yang dikehendaki-Nya, ditangan-Nya segala kebaikan, sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa.”

Kesimpulan tulisan ini terletak pada ayat di atas. Mungkinkah segala hal yang terjadi di dunia ini harus sesuai dengan sekenario Sang Khalik? Wallahu alam.** (penulis adalah manusia bisa yang fakirul ilmi dan dlo’if)