Artikel

NKRI : Negeri Komedi Republik Impian

Apa yang ada dalam pikirkan anda mengenai pencarian identitas bangsa yang sudah 60 tahun merdeka? Jika anda masih ragu-ragu menjawabnya, berarti posisi anda dan saya masih sama. Kita, sebagai salah satu elemen bangsa Indonesia tentu saja masih meraba-raba, dikategorikan ke dalam bagaimanakah negara kita. Jujur, tidak pernah terpikirkan kita mempunyai tumpukan berkas-berkas kerja yang belum selesai dan bertambah setiap harinya. Posisi Indonesia sebagai negara berkembang, sebagai negara maritim, sebagai negara korup, negara penuh dengan demokrasi, negara terdidik, negara dengan sumber daya alam besar, negara hukum, negara yang menjunjung tinggi HAM, negara yang aman dan damai, bangsa timur yang kebarat-baratan, negeri yang menggunakan nurani dan mungkin negeri impian yang cantik, masih kita pertanyakan dalam umur negara kita yang masih dikategorikan anak-anak.

Sebagai negara berkembang, kita terkadang menjabarkan perkembangan hanya secara fisik saja. Itu berarti dengan gedung-gedung menjulang, tata kota yang padat dan selalu hiruk pikuk dengan kendaraan, jalan-jalan yang bertingkat, kemacetan, perekonomian maju dan tingkat kehidupan sosial yang cukup. Cukup dengan rumah bertingkat, mobil mewah, liburan ke luar negeri dan cukup untuk tujuh turunan. Seiring berkembangnya pembangunan, julukan negeri kita sebagai negeri agraria terus tenggelam dalam modernitas dan dunia posmo yang memanjakan. Sebuah negeri yang kaya dengan sumber daya alam yang tidak mampu dikelola dengan baik.

Kemudian sepanjang sejarah kita dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim, kita ragu untuk menyebut bahwa kekuatan maritim kita tangguh dalam menghadapi rongrongan dari pihak luar. Angkatan laut kita terlalu sedikit dengan armada yang tua dan sudah sering sakit-sakitan kita tidak mampu menjaga sebagian besar wilayah kesatuan yang dikelilingi oleh lautan. Beberapa kali kita kecolongan oleh para nelayan asing dan mungkin liar yang menangkapi ikan. Mungkin juga usaha pengangkutan kayu liar yang dilakukan atau bisnis senjata api gelap antar negara. Kita kadang sulit untuk mencerna darimana aktivis yang ingin memerdekakan tanahnya mendapatkan AK, RPG, bahkan senapan serbu seri M. Pasar gelap mana yang terang-terangan mengadakan transaksi di darat jika lautan adalah surga bagi tempat jual beli ada yang tak tersentuh. Bahkan kita ragu dengan kekuatan diplomasi menjaga keutuhan pulau-pulau setelah kehilangan Sipadan dan Ligitan. Lalu kita adalah bagian besar dari negara-negara yang korupsinya terbesar.

Malukah kita? Entah. Sebagai negara yang mengaku negara timur dan menjunjung nilai-nilai tinggi ketimuran, kita tidak bisa melepaskan korupsi dari kehidupan kita. Ada sesuatu yang mengganjal, suatu dualisme yang diusung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita seringkali berbicara tentang moral kita sebagai negeri timur yang malu akan perbuatan-perbuatan amoral. Jika judi dan zinah adalah tindak amoral, lalu kasus korupsi? Tapi itulah negara kita menciptakan suatu sistem pendidikan yang juga tidak pernah jelas arahnya. Sistem pendidikan yang diatur oleh pemerintah dan disisipi doktrin pemerintah atau sejarah yang bukan sejarah. Gilanya ini terjadi hingga perguruan tinggi. Terbayangkah oleh kita ketika 15 tahun belajar yang namanya PMP atau PPKN atau penataran P4. Lalu apa dihasilkan oleh pendidikan seperti ini? Mudah saja, lihat pamong-pamong kita dan bagaimana mereka berbuat.

Bahkan sebuah Sekolah Tinggi milik pemerintah yang katanya akan menghasilkan calon pimpinan menerapkan cara yang sama sekali bukan menjadikan seseorang menjadi pemimpin, tapi preman kantoran. “Maaf, saya calon bupati. Apakah calon bupati harus disiksa terlebih dahulu untuk ikut belajar di sini”. Itulah kita dalam dunia pendidikan. Para pendidik kita? Terkadang, entah bingung, kesal, dan marah menyaksikan banyak para pendidik yang memanfaatkan siswa didiknya sebagai objek pencabulan. Dan sangat disayangkan, sudah mendapatkan pendidikan yang kurang, simpang siur arahnya, kita masih dihadapkan pada satu tembok, mahal.

Lalu jalan keluarnya? Bagi yang mampu mereka berjuang untuk mendapatkan sekolah swasta yang baik di dalam bahkan di luar negeri. Bagi yang tidak mampu terpaksa pinjam kebel telepon tetangga untuk mengikat leher untuk bunuh diri. Sebuah upaya untuk lepas dari lilitan lain. Ini kasus Heriyanto, sekarang anak ini dirawat karena gangguan kejiwaan di sebuah rumah sakit Jiwa di Jawa Barat. Kita juga bingung dengan istilah demokrasi. Kita adalah negara demokrasi yang kapitalis dan sosialis serta sedikit teologis. Kita adalah negara yang bimbang dan memilih untuk tidak memilih blok dan dianggap tetap netral. Untuk itulah kita mengambil Pancasila sebagai dasar negara.

Yang tidak hafal Pancasila dianggap tidak Pancasialis, yang tidak mengakui Pancasila dianggap menentang negara, tetapi yang tidak merefleksikannya ke dalam perbuatan sehari-hari tidak dikenakan sanksi apa-apa. Bukankah yang terpenting adalah merefleksikan dan mengaplikasikan Pancasila ke dunia nyata daripada sekedar menjadi hafalan ketika upacara bendera? Kita adalah negara yang bebas. Bebas berkeyakinan (walau terbatas), bebas bicara (asal hati-hati), bebas berpikir (asal tidak radikal), bebas berbuat (asal tidak menyalahi aturan) dan bebas nilai.

Ingat, ini bukan iklan salah satu provider nasional. Inilah yang akhirnya kita menggunakan hukum, untuk membatasi kebebasan dan menjatuhkan hukuman bagi pelanggaran yang dilakukan. Mulailah kita menggunakan panggilan sebagai negara hukum. Kita menentukan nilai-nilai kesalahan orang dengan pasal-pasal juga dengan digit angka. Hukum punya penilaian tersendiri dalam setiap perkara. Biasanya hitungan mulai dari jutaan, hingga milyaran. Yang mampu dapat tak tersentuh oleh hukum, tapi hukum dapat menyentuh dan memukul yang tidak mampu. Itupun sudah ditambahkan dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kita terkadang masih sering dibingungkan dengan keterbatasan hak asasi kita sebagai manusia, mengingat negeri ini penuh dengan berbagai batasan. Bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi HAM tetapi kebingungan ketika aktivis diculik bahkan dibunuh diam-diam. Kemudian banyak orang yang menggunakan ungkapan sebagai negeri yang penuh dengan pengertian dan hati nurani. Tapi sampai sebatas mana? Pernahkah terpikir di benak kita ketika Yang Terhormat presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkoar-koar untuk melakukan penghematan, ia ditikam oleh orang-orang dari dalam pemerintahan sendiri? Orang-orang yang kemarin kita pilih (dengan berbondong-bondong) “mencoblos” di TPS (Maaf, waktu itu penulis lupa memilih). Apakah terpikir dengan hati nurani ketika kesulitan yang melilit bangsa, ketika rakyat mengantri BBM bahkan sampai pukul-pukulan lalu anggota dewan (yang terhormat?) minta naik tunjangan? Apakah terpikir jalan-jalan anggota dewan, dengan kedok studi banding dan buang-buang banyak uang bukan sebuah pemborosan? Apakah tidak ada cara lain untuk melakukan perbandingan, dengan mengundang pakar legislatif dari mancanegara misalnya? Atau menggunakan teknologi yang sudah sekian maju? Mungkin akan terjadi penekanan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sisanya masih bisa dipakai untuk dialokasikan kepada bidang lain yang membutuhkan. “Ini studi banding, untuk melihat bagaimana kualitas legislatif negara tetangga. Supaya kualitas legislatif kita bisa seperti mereka.” “Maaf, tapi di negeri ini banyak rakyat masih lapar, bahkan busung lapar, kurang gizi. Di negeri ini masih banyak guru-guru yang cari tambahan karena tidak cukup kasih makan keluarga.” Penulis jadi teringat sebuah alenia dari sebuah buku berjudul Republic. Di sana Plato, melalui tokoh Socrates menggambarkan apa itu legislator dan bagaimana mereka harus berbuat. ‘Legislator sama sekali tidak bertujuan untuk membuat satu kelas apapun di negara tersebut menjadi bahagia di atas penderitaan orang lain ; kebahagiaan harus mencakup seluruh negara, dan dia merangkul seluruh warga negara melalui cara persuasif dan keharusan menjadikan mereka orang yang berguna bagi negara tersebut, dan dengan demikian menjadi orang yang berguna bagi satu sama lain; untuk tujuan inilah mereka diciptakan, bukan untuk menyenangkan diri sendiri, melainkan menjadi instrumen dalam membangun negara’.

Pertanyaan tambahan bagi negeri kita, apakah legislator kita sudah termasuk bagian dari legislator idealnya Plato? Dan inilah sebuah negeri yang cantik, damai, dan kaya. Sebuah negeri yang menjadi sebuah barang cemburuan bagi mereka yang melihat kemakmuran dan ingin mencicipi kemakmuran itu. Kecemburuan itu membawa memakai cara untuk membuat kita tidak nyaman. Kita terus dibodohi oleh pemilik modal dan dengan bodohnya hanya mengangguk ketika proposal dengan nilai mata uang asing ada di hadapan mata. Kita masih saja merenung, di negeri antah berantah, ada satu nama negeri bernama Indonesia yang di dalamnya kita mengenal arti negeri yang kaya, negeri yang berkembang, negeri yang jujur, negeri maritim yang kuat, negeri yang penuh demokrasi, negeri dengan hukum yang adil, negeri yang terdidik, negeri dengan falsafah humanis, negeri yang lupa arti dan bagaimana itu anarki, negeri tropis yang merupakan perpaduan indah timur dan barat. Ya, negeri itu masih ada di antah berantah. Bukan negeri kita. Patutkah kita bermimpi tentang negeri itu? Bolehkah kita bermimpi tentang negeri itu? Maaf, kita tidak bisa menjawab dengan bermimpi kembali.

Memang kita tidak bisa bermimpi. Hormat bagi para pejuang, apapun itu. Pejuang kemerdekaan, pejuang revolusi, pejuang reformasi, pejuang rumah tangga, pejuang keadilan, pejuang hati nurani, pejuang hukum dan HAM, pejuang lingkungan, pejuang demokrasi, bahkan pejuang korupsi. Tapi perang belum usai, itu menurut penulis. Kita masih belum bisa merdeka dan masih jauh dari kesan negara yang merdeka. Maaf untuk para pejuang kemerdekaan, pejuang revolusi, pejuang demokrasi, dan pejuang reformasi. Tugas kalian belum selesai dan tetap menjadi pekerjaan rumah kalian. Ya, masih ada pekerjaan rumah tentang membenahi sebuah negara yang masih muda, menurut ukuran penulis.

Kita masih terjebak oleh masalah-masalah yang subtansinya terlalu luas. Masih teringat dalam benak penulis, sebuah spanduk besar bertuliskan ‘Food for Irak”. Mengapa kita harus jauh-jauh ke Irak jika di negara kita “tercinta” masih banyak yang kelaparan, bahkan berpenyakit busung lapar. Tulisan ini bukan untuk menggugat, melainkan hanya sekedar berbagi perasaan sesama masyarakat yang juga menghirup aroma negeri ini. *)

Raymond Airlangga, penulis, penyair, pengidap Insomnia, anggota Forum Sastra Bandung, dan penggagas diskusi filsafat terbuka di STIKOM Bandung.

 

 

Agonizing

Proses menjadi penulis itu bisa menyakitkan.
Kadang-kadang saya berpikir bahwa suara penulis,
karena tak ada istilah yang lebih baik,
tidak bisa ditemukan tanpa rasa sakit.
(Carmel Bird)

Ignas Kleden punya kisah menarik tentang almarhum Soedjatmoko. Menurut Kleden, setiap kali almarhum harus menulis makalah, maka dia seakan berhadapan dengan sebuah tekanan dan penderitaan besar. Pada saat-saat demikian, menulis bagi beliau selalu menjadi momen-momen yang agonizing, yang dapatlah dianalogikan dengan penderitaan seorang ibu yang berjuang melahirkan anaknya.

Cerita Kleden tentang almarhum Soedjatmoko adalah sesuatu yang seringkali juga dialami banyak penulis, terutama penulis pemula. Seorang kawan yang mulai berniat serius menulis pernah mengeluh, betapa ia sangat putus asa dan menggugat diri: apakah menulis memang sesuatu yang ingin ia lakukan?

Menulis baginya kadang terasa jadi semacam siksaan. Siksaan ini semakin besar ketika ide yang menumpuk tak lantas bisa dituangkan begitu saja dalam tulisan. “Kata-kata menyengkarut di dalam kepala saya,” katanya, “seolah-olah semuanya ingin melompat keluar, namun tak satu pun yang berhasil lepas.” Keadaan lebih parah ia rasakan ketika sebuah peta gagasan telah terumuskan, namun pada saat dihadapan layar monitor atau selembar kertas, gagasan itu menghilang begitu saja.

Saya tak bisa memberikan jawaban yang solutif terhadap keluhan ini. Saya sendiri sering mengalami hal yang sama. Kepadanya kemudian saya tunjukkan kalimat Seno Gumira Ajidarma ini: “Menulis adalah suatu momentum, karena memang ada seribu satu faktor yang sebenarnya misterius dalam kelahiran sebuah tulisan. Belajar menulis adalah belajar menangkap momen-momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan manusia.”

Dengan kata-kata Seno ini, saya anjurkan ia untuk belajar menulis melalui catatan harian. Menulis catatan harian saya kira tidak banyak menuntut, apakah tulisan tersebut memiliki kualitas tulisan yang baik secara gramatika atau dari sudut pandang semantik. Seorang penulis diari juga tidak perlu mencemaskan apakah tulisan tersebut bisa berguna buat orang lain. Ia hanya menulis saja, dari dan untuk dirinya. Menulis diari jadi semacam menulis surat yang ditujukan kepada diri sendiri.

Anais Nin (1903-1977), seorang penulis kelahiran Paris yang telah menerbitkan dua seri diarinya dan mendapat banyak pujian pernah bilang, ”Orang yang kembali ke buku harian adalah orang yang mencari dirinya, penyusuran jalan menuju pengembangan dan kesadaran, jalan menuju kreativitas.”

Menulis catatan harian dengan demikian melatih seseorang untuk tidak hanya belajar menulis, tapi juga belajar terbuka, berani, dan jujur “menangkap momen-momen kehidupan dengan penghayatan.”

Namun, tentu saja tidak selalu gampang. Sebab, menulis diari juga membutuhkan sikap seorang penulis – yang selalu melihat, selalu mendengar, selalu merasakan, selalu memikirkan – untuk kemudian dituliskan. Di sini, menulis, betapa pun mesti melalui momen-momen yang agonizing, memerihkan, namun sekaligus bisa membebaskan. Paling tidak, seseorang yang menulis diari tidak merasa sangat tertekan atau begitu tersiksa. Sebab, ia bisa berhenti mencatat kapan pun ingin menghentikannya.

Tentu saja, setiap penulis akan menemukan caranya masing-masing. Menulis diari bukan satu-satunya sarana, tujuan utamanya adalah menemukan cara yang memang berguna. “Tulisannya sendiri barangkali tidaklah terlalu penting, karena tulisan hanya sebuah produk. Prosesnyalah yang penting, karena itulah suatu proses kemanusiaan: bagaimana manusia hidup dalam kemungkinan yang diterimanya, yakni kemungkinan untuk bebas,” begitu tulis Seno. Dan upaya untuk bebas, saya kira memang mesti melalui keadaan yang agonizing, yang menyengsarakan, seperti kata Kleden. (Denny Y.F. Nasution, penulis muda yang selalu kekurangan uang – tapi ini menjadi salah satu motivasi meskipun sangat mengganggu dan tentu saja menyengsarakan)

 

Post-och Inrikes Tidningar (1645-2007)
Koran Tertua Yang Bermigrasi Ke Internet

Sebuah koran Swedia yang telah terbit lebih dari 350 tahun, Post-och Inrikes Tidningar, akhirnya menghentikan edisi cetaknya dan memilih beralih ke online. Berita ini sontak mengejutkan ahli sejarah di dunia.

Post-och Inrikes Tidningar (PoIT) yang berarti “Pos dan Koran Domestik” adalah bacaan utama masyarakat Swedia pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Koran ini lahir pada tahun 1645 atas prakarsa Ratu Kristina dan Kanselirnya Axel Oxenstierna. Penerbitan PoIT dimaksudkan untuk menyampaikan informasi dalam negeri dan menyuarakan pandangan resmi pihak kerajaan.

PoIT merupakan gabungan 2 surat kabar, yaitu surat kabar asing dan surat kabar dalam negeri. Pada edisi pertamanya, PoIT lebih mirip pamflet yang dibawa kurir dan ditempelkan di papan pengumuman di seluruh wilayah kerajaan. Pengumuman itu sebagai bentuk monopoli atas pajak yang dinaikkan oleh Pemerintah Swedia karena partisipasinya dalam peperangan selama 30 tahun (1618-1648) melawan Jerman. PoIT juga gencar menyajikan berita internasional dan domestik, termasuk informasi seputar wabah penyakit dan kurs mata uang Swedia.

Setelah informasi menjadi semakin gampang didapat, PoIT memperluas cakupan liputan internasional dan domestiknya hingga termasuk informasi tentang penyakit, epidemi dan nilai tukar mata uang Swedia. Koran itu juga menulis tentang pengamatan cuaca, puisi dan novel bersambung tapi tidak pernah memuat gambar atau iklan

Pada 1791, Gustav III menunjuk Akademi Swedia untuk menyalurkan dan menerbitkan surat kabar itu. Penerbit terkini Post- och Inrikes Tidningar ialah Horace Engdahl, yang juga sekretaris tetap Akademi Swedia.

Di tahun-tahun akhir versi cetaknya, hampir setengah dari total halaman koran tersebut dipenuhi pengumuman perusahaan-perusahaan publik. Sisanya hanya konten non-berita seperti pengumuman proses hukum dan pertunangan keluarga kerajaan Swedia. Pelanggan utama koran ini adalah bank, pengadilan, pengacara, pustakawan, serta agen lokal dan nasional..

PoIT menikmati monopolinya, sampai kemudian muncul pesaing baru seperti Aftonbladet di tahun 1879. Dalam perkembangannya, berita-berita di PoIT menyusut, seiring dengan jumlah pembacanya yang juga menurun. Sejak awal tahun 1.900-an, koran tersebut tidak lagi menjadi referensi berita di Swedia.

PoIT bukan koran pertama yang pernah terbit di dunia ini. Dalam sejarahnya, surat kabar pertama kali muncul pada saat kekaisaran Romawi kuno tahun 59 sebelum masehi. Saat itu hanya berisi jurnal kegiatan Sang Kaisar yaitu Julius Cesar bertajuk “Acta Diurna”. Tahun 1605, Johan Carolus adalah orang pertama yang mengenalkan surat kabar yang terbit dalam bentuk tercetak. Surat kabar ini bernama “Relations” dengan bahasa dominan Bahasa Jerman. Dengan dua penerbitan tercetak ini, PoIT adalah koran tertua ketiga di dunia yang pernah muncul dalam catatan sejarah.

Beralih ke Media Online

Pada tanggal 1 Januari 2007, menjadi akhir dari perjalanan PoIT. Pengelolanya memutuskan untuk menghentikan edisi cetak dan sepenuhnya beralih ke internet. Edisi cetaknya dihentikan dikarenakan oplahnya tidak pernah tinggi hanya berkisar 1.000 hingga 1.500-an eksemplar.

Pada tahun 1978, koran tersebut berubah menjadi bentuk booklet dan merupakan bentuk terakhir dari PoIT yang diterbitkan hingga tanggal 29 Desember 2006, dicetak sebanyak 1.500 eksemplar.

Dengan tujuan untuk mengurangi biaya, Kementerian Hukum Swedia melakukan penelitian untuk masa depan PoIT yang berakhir dengan keputusan untuk menransfer pengelolaan koran tersebut kepada Bolagverket pada Oktober 2005. Langkah itu mengawali keputusan perubahan koran tersebut dari versi cetak ke versi digital mulai 1 Januari 2007.

Media yang sempat diganjar hadiah Nobel untuk Literatur ini kemudian dijual kepada Swedish Companies Registration Office, yang merupakan salah satu badan usaha milik negara Swedia.

Dalam format elektronik yang diluncurkan pada tanggal 1 Januari, PoIT tetap merupakan media resmi pemerintah –sebuah peran yang diabadikan dengan hukum Swedia– sejak abad ke-17. Meskipun tidak lagi meliput berita lebih dari 100 tahun, Asosiasi Koran Sedunia tetap menganggap PoIT sebagai penerbitan koran tertua di dunia.

Media Online Sebagai Solusi

Para pengguna Internet di Amerika Serikat yakin bahwa berita-berita yang disiarkan secara online sama kridiblenya dengan berita yang disajikan secara lebih tradisional, misalnya lewat surat kabar, majalah atau pun televisi.

Internet semakin menancapkan posisinya di puncak teratas dunia informasi. penelitian oleh sebuah lembaga di AS, Harvard’s Shorenstein Center on The Press, Politics, and Public Policy menunjukan penggunaan internet untuk mencari informasi terus meningkat, sebaliknya penggunaan surat kabar dan televisi menurun.

Di Indonesia sendiri, pelengseran rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi sedikit banyak juga dipengaruhi gelombang informasi lewat Internet. Berita di Internet menjadi primadona sekaligus menjadi rujukan ketika itu. Gerakan-gerakan bawah tanah pun secara baik memanfaatkan kelebihan Internet sebagai sarana penyebaran informasi. Dan dari berita di Internet itu sedikit banyak berperan mengubah image Soeharto dan menerbitkan keberanian orang. Kali itu, pemerintahan Soeharto memang terkesan mengabaikan Internet. Detik.com sendiri mulai on-line setelah Soeharto jatuh dan tampilah Habibie sebagai Presiden. Gerakan mahasiswa rupanya kian terus muncul dan membesar. Hampir setiap hari aksi demo meramaikan jalanan Jakarta. Atas peristiwa itu, masyarakat Indonesia membutuhkan informasi secara cepat dan akurat. Itulah sebabnya Detik.com, yang lahir pada momentum yang tepat, kemudian menjadi rujukan orang untuk memperoleh informasi. Bahkan koran-koran nasional atau koran daerah memanfaatkan detik.com, baik mengutip sebagai pemberitaan maupun mengambil utuh (Winters, 2000: 269-270).

Teknologi internet kemudian memulai ekspansi besar-besaran di negara Indonesia, terutama sebagai alternatif untuk meyebarkan berita yang telah dikooptasi oleh pemerintah. Selepas masa peralihan kekuasaan negara, internet kini dijadikan sebuah produk media berita.

Koran-koran kini mulai terjun ke ruang tak terbatas (cyberspace). Koran itu bernama koran online. Sussman mengilutrasikan, koran tiba suatu pagi, tapi ada yang kurang. Tidak ada tukang koran yang melempar koran kehalaman rumah yang temaram, tak terdengar bunyi berisik jatuhnya koran. Malah korannya pun tak ada. Koran ini elektronik—campuran digital antara teks, gambar, foto berwarna, suara dan video gerak penuh yang menari-nari dilayar komputer selebar buku dan dibawa-bawa . Dan tanpa kabel, sehingga dapat dibawa ke kamar mandi sekalipun.

Tak bisa dipungkiri, perusahaan suratkabar memang mesti melengkapi diri dengan edisi online. “Bertahan atau tidaknya jurnalisme serta kesehatannya tergantung apakah sisi bisnisnya dapat mencari model ekonomi baru untuk mensubsidi kreatifitas pemberitaan,” demikian yang pernah diungkapkan Tom Rosentiel, kepala proyek Excellece in Journalism di Amerika. Dengan demikian, perusahaan suratkabar yang mampu mengembangkan bisnisnya dengan mencari model ekonomi baru untuk mensubsidi kreatifitas pemberitaan sebagaimana kata Rosentiel, agaknya tak perlu melakukan emigrasi seperti yang terjadi pada PoIT. (Fitriansyah, Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung)

Leave a comment